Calon mempelai yang diketahui dan terbukti melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 3, 10, dan 40 akan di ancam pidana
setinggi-tingginya Rp7.500,00 (Tujuh ribu lima ratus rupiah). Hal ini dapat
dilihat pada pasal-pasal berikut.
Pasal 3 PP
Nomor 9 Tahun 1975
(1)
Setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat
perkawinan akan dilangsungakan.
(2)
Pemberitahuan tersebut dalam ayat
(1) dilakuka sekurang-kurangnya 10 (Sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.
(3)
Pengecualian terhadap jangka waktu
tesebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh
Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Penekanan pasal tersebut adalah tenggang waktu pemberitahuan
kehendak untuk melakukan pernikahan, yaitu sekurang-kurangnya 10 (Sepuluh) hari
kerja dari dilangsungkannya perkawinan. Itupun sifatnya relative longgar.
Sebab, jika ada alasan penting dapat meminta dispensasi Camat atas nama Bupati.
Apabila ketentuan ini dilanggar oleh calon mempelai maka akan dikenakan sanksi
pidana yang merupakan bentuk pelanggaran yang pertama.[1]
Pasal 10 PP
Nomor 9 Tahun 1975
(1)
Perkawinan dilangsungkan setelah hari
ke sepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti
yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintahan ini.
(2)
Tata cara perkawinan dilakukan
menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(3)
Dengan mengindahkan tata cara
perkawinan menurut masing-masing hokum agamanya dan kepercayaannya itu,
perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi.
Ayat (1) dan (3) adalah bentuk pelanggaran yang kedua
terhadap calon mempelai. Hal ini, menunjukkan bahwa perkawinan yang
dilaksanakan oleh orang tertentu yang di sebut “Kawin Lari” dan/atau “Kawin
Dibawah Tangan” atau bisa juga disebut “Kawin Liar” akan dikenakan sanksi
pidana. Namun, masalahnya sanksi pidana yang dimaksud, termasuk delik aduan, yaitu
orang yang merasa dirugikan dengan adanya perkawinan itu megadu ke aparat yang
berwenang, yang kemudian diproses melalui sidang di pengadilan sehingga
menghasilkan putusan untuk menghukum tergugat. Oleh karena itu, sepanjang tidak
ada pihak yang merasa dirugikan maka sanksi pidana tidak akan dijatuhkan kepada
yang melakukan perkawinan dimaksud.
Pasal 40 PP
Nomor 9 Tahun 1975
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Pelanggaran hukum terhadap Pasal 40 masih sering terjadi.
Sebab, pemahaman fikih dari masyarakat di Indonesia adalah seorang laki-laki
boleh menikah sampai 4 (Empat) orang istri. Apabila seorang laki-laki beristri
lebih dari seorang yang kemudian istri atau istri-istriya tidak merasa
dirugikan maka selama itu, sang suami tidak akan dijatuhi sanksi hukum. Akan
tetapi, bila istri atau istri-istrinya merasa dirugikan yang kemudian
mengadukan persoalannya kepada yang berwenang, maka memungkinkan tergugat akan
dijatuhi sanksi hukum.
[1] Prof. Dr. H. Zainuddin
Ali, M,A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
2009,
Sign up here with your email

ConversionConversion EmoticonEmoticon