Khulu dapat dipandang syah dan jatuh akan hukumnya jika memenuhi
syarat dab rukunnya. Rukun khulu’ ada empat[1], yaitu :
1. Suami
Syarat suami sah talaknya yaitu baligh, berakal, dan
berdsarkan pilihan sendiri sebagaiman keterangan dalam talak. Demikian itu
karena khulu’ juga talak, suami menjadi rukun bukan syarat. Suami yang sah
talaknya merupakan syarat dalam diri suami. Khulu’ tidak sah dari suami yang
masih anak kecil, suami gila, dan terpaksa, sperti talak mereka.[2]
Seluruh mazhab, kecuali Hambali, sepakat bahwa baligh dan
berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan
khulu’. Sedang Hambali mengatakan : Khulu’ sebagaimana halnya dengan talak,
dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah mengerti sekalipun
belum baligh).[3]
2. Istri
Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan hal-hal
berikut:[4]
a. Hendaknya
dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu'
bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai
isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang
sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk
mengajukan Khulu'.
Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam
masa Iddah boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
1)
Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah
karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu',
lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang
sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan
Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
2)
Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah
Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap
mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah
dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan
pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat
mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat
dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang
sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'.
Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
b. Isteri
yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan
tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan
melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya.
Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak
waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak
kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan
menggunakan hartanya.[5]
3. Iwadh
(Pengganti Khulu’)
Khulu’ sebagaimana keterangan di atas menghilangkan
kepemilikan nikah dengan penggantian/imbalan materi. Imbalan ini bagian yang
pokok dari makna khulu’. Jika tidak dicapai pengganti maka tidak dicapai pula
khulu’. Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Aku khulu’ kepada engkau”
dan dia diam maka demikian itu tidak mencapai khulu’. Jika ia berniat talak,
menjadi talak raj’I dan jika tidak berniat maka sesuatu tidak terjadi apa-apa
karena menggunakan lafal sindiran memerlukan niat.[6]
Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa khulu’ boleh dilakukan
dengan mengembalikan semua mahar yang diterima pada saat akad nikah,
mengembalikan sebagiannya, atau membayar dengan harta selain mahar, baik
nilainya kurang dari nilai mahar yang diterima atau lebih. Khulu’ juga boleh
dilakukan dengan mengembalikan mahar secara tunai, dihutang atau ditunda.[7]
Kesimpulannya, semua yang dapat dijadikan sebagai mahar
boleh dijadikan pembayaran khulu’ berdasarkan keumuman firman Allah swt., “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah :
229).[8]
Khulu batal jika pembayaran yang diberikan tidak jelas dan
tidak diketahui secara pasti. Khulu’ juga batal jika mengajukan syarat yang
bertentangan dengan syariat Islam, seperti suami tidak perlu menafkahi
istri.khulu’ juga tidak sah jika dijanjikan dengan pembayaran seribu, akan
tetapi tempo pembayarannya tidak jelas dan syarat lainnya. Dalam kasus ini,
pembayaran khulu’ mesti dihitung menurut mahar mitsil.[9]
4. Shighat
Mazhab empat memperbolehkan khulu’ dengan menggunakan
redaksi yang jelas, misalnya khulu’ dan fasakh, maupun dengan redaksi kiasan
(kinayah) semisal, “saya lepas dan jauhkan engkau dari sisiku.”[10]
[1]
Prof. Dr. Abdul Aziz M. azzam, Prof. Dr. Abdul wahhab Sayed Hawwas, Fiqh Munakahat, Amzah, 2009, Jakarta, h.
300
[2] Prof.
Dr. Abdul Aziz M. azzam, Prof. Dr. Abdul wahhab Sayed Hawwas, Op.Cit. H. 301
[3]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Mazhab, Lentera, 2006, Jakarta. H. 462
[4] http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html
31-03-2011
[5] http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html
31-03-2011
[6]
Prof. Dr. Abdul Aziz M. azzam, Prof. Dr. Abdul wahhab Sayed Hawwas, Op.Cit. H. 304
[7]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4,
Cakrawala Publishing, 2009, Jakarta. H. 81
[8]
Sayyid Sabiq, Op.Cit. H. 81
[9] Ibid.
[10]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Mazhab, Lentera, 2006, Jakarta. H. 462
[11]
Sayyid Sabiq, h. 79
Sign up here with your email

ConversionConversion EmoticonEmoticon