Wadiah


Secara etimologi, kata wadi'ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara terminologi, ada dua definisi wadi'ah yang dikemukakan pakar fiqih. Pertama, menurut Ulama Hanafi, wadi'ah adalah mengikut-sertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungka-pan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Kedua, menurut Ulama Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) wadi'ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Dari definisi di atas secara esensi wadi'ah adalah menitipkan sesuatu harta atau barang pada orang yang dapat dipercaya untuk menjaganya.

Sebagai salah satu akad yang bertujuan untuk saling menolong, para ulama fiqih sepakat untuk menyataka^ bahwa al-wadi'ah disyariatkan dan hukum menerimanya adalah sunnah. Dasar hukumnya adalah: 

QS. an-Nisaa' (4): 58

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Hadits :

Serahkanlah amanat orang yang memercayai engkau, dan jangan kamu mengkhianati orang yang telah mengkhianati engkau. (HR. Abu Daud, at-Tirmizi, dan al-Hakim).

Ketentuan Wadi'ah

Dilihat dari segi sifat akad wadi'ah, para ulama fiqih sepakat menyatakan akadnya bersifat mengikat kedua belah pihak. Bila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini meme-nuhi rukun dan syarat wadi'ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab untuk memelihara barang titipan itu. 
Para ulama fiqih sepakat menyatakan, bahwa status wadi'ah di tangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggung jawab orang yang dititipi, kecuali kerusakannya di-sengaja atau atas kelalaian orang yang dititipi. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakaii: "Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan, tidak dikenakan ganti rugi." (HR. al-Baihaqi ad-Daruquthni). Dalam riwayat lain dikatakan: Orang yang dipercaya memegang amanah tidak boleh dituntut ganti rugi (HR. ad-Daruquthni dari Amr Ibnu Syu'aib).

Berdasarkan hadits-hadits ini, para ulama fiqih bersepakat apabila dalam akad wadi'ah disyaratkan, bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan, sekalipun kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka akadnya batal. Akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad wadi'ah adalah pihak yang dititipkan barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan itu.

Berkaitan dengan sifat akad al-Wadi'ah sebagai akad yang bersifat amanah, yang imbalannya hanya mengharap ridha Allah, para ulama fiqih juga membahas kemungkinan perubahan sifat akad al-Wadi'ah dari sifat amanah menjadi sifat adh-dhaman (ganti rugi) dalam hal berikut ini.

a) Barang itu tidak dipelihara secara semestinya oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang merusak barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu, maka ia dianggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi (adh-dhaman).

b) Barang titipan itu dititipkan oleh penerima titipan kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggung jawabnya. Risiko tetap ditanggung pihak kedua (penerima titipan) tersebut. Apabila barang itu hilang atau rusak, dalam kasus seperti ini, orang yang dititipi di¬kenakan ganti rugi.

c) Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. Jika barang titipan tersebut rusak ketika digunakan/dimanfaatkan oleh pihak yang dititipi, maka pihak yang dititipi tersebut wajib mengganti kerusakan yang ditimbulkan meskipun kerusakan-nya di luar kekuasaannya. Karena barang titipan itu dititipkan hanya untuk dipelihara saja, dengan demikian pemanfaatan barang titipan dianggap suatu penyelewengan.

d) Orang yang dititipi mengingkari wadi'ah itu. Para ulama sepakat, apabila pemilik barang meminta kembali barang titipannya pada orang yang ia titipi, lalu orang yang dititipi menolak tanpa alasan yang jelas, maka ia dikenakan ganti rugi.

e) Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan.

f) Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah di-tentukan, maka ia dikenakan ganti rugi, kecuali syarat seperti tempat pemindahannya sama dengan syarat-syarat yang di-kemukakan penitipan barang.

g) Barang titipan dibawa bepergian jauh (as-safar).
Dalam perkembangan konsep wadi'ah di dunia Islam dijumpai berbagai bentuk dan variasi, serta pihak-pihak yang terlibat pun semakin beragam. Misalnya, giro pos atau tabungan yang dikelola oleh pihak bank. Pada dasarnya giro dan tabungan tersebut merupakan titipan (wadi'ah) yang dapat diambil setiap saat oleh orang yang menitipkannya. 

Jika barang titipan itu (umpamanya uang) dimanfaatkan oleh pihak penerima titipan, kemudian dikembalikan lagi secara utuh, dan bahkan dilebihkan sebagai imbalan jasa, menurut Maliki dan Hanafi, hukumnya boleh, sekalipun dalam pemanfaatan imbalan jasa dari bank ini disedekahkan pada orang yang memerlukan atau bai al-mal. Akan tetapi menurut Ulama Syafi'i tidak boleh dan akadnya dinyatakan gugur.

Previous
Next Post »