Hukum Khulu'

Sebagaimana talak itu status hukumnya boleh jadi menjadi wajib, adakalanya menjadi haram, adakalanya menjadi makruh, adakalanya menjadi sunnah dan adakalanya menjadi mubah, sesuai dengan kondisinya, maka demikian pula hukum melakukan khulu’.[1]

Khulu itu wajib dilakukan ketika permintaan istri karena suami tidak mau memberi nafkah atau menggauli istri, sedangkan istri menjadi tersiksa.[2] Khulu’ menjadi wajib hukumnya pada sebagian keadaan seperti orang yang tidak pernah melakukan sholat, padahal telah diingatkan. Demikianlah juga pada masalah, seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya dihadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban berpisah. Maka wajib bagi wanita tersebut dalam keadaan seperti ini untuk meminta dari suaminya tersebut khulu’ walaupun harus menyerahkan harta. Karena tidak patut seorang muslimah menjadi istri orang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur.[3]

Khulu’ itu hukumnya haram jika dimaksudkan untuk menyengsarakan istri dan anak-anaknya.[4] Dan juga apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:[5]

1.       Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'.
"Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

2.      Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Firman allah swt. :

Artinya : “…dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata…”. (Q.S. Annisa : 19)

Khulu’ menjadi sunnah hukumnya jika dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih memadai bagi keduanya.[6] Dan apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.[7]

Khulu’ menjadi mubah apabila ketika ada keperluan yang membolehkan istri menempuh jalan ini.
Hukum asal khulu’, ada yang berpendapat dilarang (haram) ada yang mengatakan makruh, dan ada ynag mengatakan haram kecuali karena darurat. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum asal melakuka khulu’ itu makruh, hanya dia menjadi sunnah hukumnya bila istri ternyata tidak baik dalam pergaulan terhadap suaminya. Khulu’ itu tidak dapat menjadi haram dan tidak dapat pula menjadi wajib.[8]




[1] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Fiqh Munakahat, kencana, 2008, Jakarta. H. 224
[2] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Op.Cit.
[3] http://ekonomisyariat.com/belajar-islam/seputar-gugat-cerai-al-khulu.html. Diakses 09-03-2011 jam 21.51
[4] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Op.Cit. h. 224
[5] http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html. diakses 31-03-2011
[6] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Op.Cit. h. 224
[7] http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html. diakses 31-03-2011
[8] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. H. 225
Previous
Next Post »