Mesir
Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya ordonansi tahun 1880 yang berisi ketentuan yang berkaitan dengan pegawai pencatat nikah dan dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka.
Lalu lahir ordonansi 1897 yang pada pasal 31 menyatakan bahwa “gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan stelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan”
Dan dalam ordonansi 1921 mengandung ketentuan dokumen itu harus bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang.
Seorang yang menikah harus menjelaskan pernikahnnya pada formulir pencatatan pernikahan
Orang yang memberikan pengakuan palsu kepada pencatatan tentang status pernikahan atau alamat istri-istrinya atau istri yang telah dicerai dikenai ancaman. Dan pegawai yang lalai atau gagal melakukan tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal 1 bulan dan hukuman denda maksimal 50 pound Mesir. Dan pegawai yang bersangkutan dinonaktifkan selama 1 tahun.
Indonesia
Dalam Perundang-undangan Indonesia:
UU No. 22/1946, administrasi saja; perkawinan diawasi oleh pegawai pencatat nikah, tanpa pengawasan dikenakan sanksi (pelanggaran),
Pasal 2 (2) UU No. 1/ 1974 (hal. 72); tiap2 perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, tapi pasal 2 (1) menyebutkan bahwa ‘Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hokum masing2 agamanya dan kepercayaannya itu’.
Jadi pencatatan tidak merupakan syarat sah pernikahan, tapi penjelasan UU/1974 menyebutkan bahwa peraturan perundang-undang merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk kesahan akad nikah.
pasal 5 (1-2); ‘Agar terjadi ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat’, pasal 6 (1-2) KHI (hal. 15); perkawinan yang dilakukan di luar pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
PP NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN, Bab II Pasal 2 ayat 1, 2, dan 3. Pasal 6 ayat 1
Malaysia
Hukum keluarga Malaysia (perlak 1984 psl 23, Serawak 1991, psl 23, UU Kelantan 1983, psl 21 (1), Negeri Sembilan 1983, dll, mengharuskan adanya pencatatan. Pencatatan secraa prinsip dilakukan setelah akad nikah dilakukan (sesegera mungkin), Kelantan menetapkan 7 hari setelah akad dilangsungkan.
Pencatatan harus disaksikan oleh wali, dua orang saksi dan pendaftar. Orang asli Malaysia yang menikah di luar negeri juga harus mencatatkan pernikahannya pada pendaftar yang diangkat pihak keduataan. Jika melanggar dikenai sanksi denda maksimal seribu ringgit atau penjara maksimal 6 bln.
Pencatatan merupakan syarat administrasi saja, tidak ada hubungannya dengan kesahan pernikahan.
Pakistan
MFLO 1961 mengharuskan adanya pencatatan pernikahan
Ulama Pakistan setuju dengan aturan ini asal tidak dijadikan sebagai syarat sahnya pernikahan’
Pernikahan yang dilakukan di luar Pakistan harus dicatatkan juga dengan cara mengirimkan satu salinan surat nikah yang telah didapatkan kepada pencatat nikah kepada pegawai pencatat perkawinan.
Perkawinan yang tidak dicatatkan tidaklah dianggap batal, tapi bagi yang melanggar aturan dikenai sanksi penjara selama tiga bln atau denda 1000 rupee.
Dalam pasal 5 MFLO menyatakan bahwa apabila perkawinan tidak dilakukan oleh pejabat pencatat nikah maka orang yang memimpin pelaksanaan ijab qabul itu harus melaporkannya ke pejabat pencatat nikah dan kelalaian itu adalah pelanggaran.
Maroko
Perkawinan harus dicatatkan oleh notaris
Kebijakan ini mendefinisikan pernikahan sebagai: “Sebuah kontrak hukum dimana laki-laki dan perempuan menyatu dengan tujuan menciptakan sebuah kehidupan yang bertahan lama dan bersama-sama di bawah otoritas laki-lakiatas dasar kesetiaan, kesucian dan keinginan untuk regenerasi dan mengisi kewajiban bersama dengan rasa aman, damai dan penuh kasih sayang”
foto by :gresnews.com
Sign up here with your email

ConversionConversion EmoticonEmoticon