Permohonan sita adalah termasuk upaya untuk menjamin hak
penggugat/pemohon seandainya ia menang dalam perkara, sehingga putusan
Pengadilan yang mengakui segala haknya itu, dapat dilaksanakan.[1]
Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah :
- Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjaga.
- Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdsarkan perintah pengadilan atau hakim.
- Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atau pelunasanutang debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut.
- Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.
Penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan.[2]
Permohonan
sita dapat diajukan sebelum perkara diputus, bahkan dapat juga diajukan setelah
perkara diputus, sepanjang belum in kracht, artinya sekalipun perkara itu
banding dan atau kasasi, masih dapat diajukan. Namun biasanya sudah diajukan
orang bersama-sama dengan gugatan.[3]
Bila
permohonan sita dikabulkan dan ternyata nanti pemohon tersebut menang dalam
perkara, maka sita tersebut akan dinyatakan sah dan berharga dalam diktum
keputusan dan pada waktu eksekusi, sita tersebut akan berubah menjadi sita
eksekusi. Kalau gugatan penggugat ditolak, dengan sendirinya harus dinyatakan
di dalam diktum keputusan untuk diangkat (dicabut).[4]
Dalam upaya
menjamin hak (sita) ini hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah
hukum yang berlaku di Pengadilan Umum serta Undang-undang Peradilan Agama.
Dalam pembahasan kali ini kami akan membahas sita
marital, sita jaminan dan sita eksekutorial. Yang akan dijelaskan di bagian
selanjutnya.
[1]
Dr. H. Roihan A. Rasyid, SH., MA. Hukum
Acara Peradilan Agama, Jakarta : Rajawali Pers, 2003. H.207
[2] M.
Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata,
Jakarta : Sinar Grafika, 2010. H.282
[3]
Dr. H. Roihan A. Rasyid, SH., MA.
[4] Ibid.
Sign up here with your email

ConversionConversion EmoticonEmoticon