Pertukaran


Akad pertukaran terbagi dua, yaitu: pertukaran terhadap barang yang sejenis dan yang tidak sejenis.

a. Pertukaran barang yang sejenis terbagi dua pula, yaitu:

1) pertukaran uang dengan uang (sharf)

Arti harfiah dari sharf adalah penanVbahan, penukaran, penghindaran, pengalihan, atau transaksi jual beli. Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat di-lakukan, baik dengan sesama mata uang yang sejenis (misal-nya, rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (rupiah dengan dollar atau sebaliknya). Ularna fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis. Dalam literatur fiqih klasik, pembahasan ini ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan dinar, dirham dengan dirham.

Pada masa kini, bentuk jual beli ini banyak dijumpai dilakukan oleh bank-bank devisa atau para money changer, misalnya jual beli rupiah dengan dollar Amerika Serikat atau dengan mata uang asing lainnya.

Dasar hukum dibolehkannya as-Sharf adalah dari Hadits Nabi, yang antara lain berbunyi:

HR. Muslim:
Diriwayatkan oleh Abu Ubadah bin ash Shamid berkata, bahwa telah bersabda Rasulullah SAW, "Emas (hendaklah dibayar) dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, sama dan sejenis haruslah dari tangan ke tangan (sah). Maka, apabila berbeda jenisnya juallah se-kehendak kalian dengan syarat kontan.

HR. Jamaah:
Dalam riwayat Ibnu Umar dikatakan: "Jangan kamu memperjud belikan emas dengan emas dan perak dengan perak, kecuali sejenis, dan jangan pula karnu memperjualbelikan perak dengan emas yang salah satunya gaib (tidak ada di tempat) dan yang lainnya ada." Hadits pertama menekankan, bahwa syarat pertukaran mata uang yang jenisnya sama adalah kualitas dan kuantitasnya sama serta dilakukan secara tunai (pembayaran harus dilaku-kan seketika itu juga dan tidak boleh diutang).
Hadits kedua demikian juga, bahkan di dalamnya terdapat keterangan tamba-han, yaitu bahwa pertukaran mata uang harus dilakukan secara tunai (objek yang dipertukarkan atau yang diperjual-belikan ada di tempat jual beli itu dilakukan). Dalam riwayat Abu Syaid Al-Khudri ditetapkan juga, bahwa nilai tukar yang diperjualbelikan itu dalam jenis yang sama, maka tidak boleh ada penambahan pada salah satu jenisnya (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).

Menurut para ulama, syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:

(1) Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerah-kan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
(2) Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antarbangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
(3) Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju mem-beli barang dari B hari ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa yang akan datang.
(4) Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang di¬pertukarkan.
(5) Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau jual beli tanpa hak kepemilikan (bat al-alfudhuli).

2) Pertukaran barang dengan barang (barter).

Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang (barter). Namun, dalam pelaksanaannya bila tidak memerhatikan ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba. Para ahli fiqih Islam telah mem-bahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka.

Banyak sekali ayat di Al-Qur'an dan Hadits yang membahas mengenai riba. Antara lain terdapat pada QS. ar-Ruum (30): 39, an-Nisaa (4): 160-161, ali Imran (3): 130, dan al-Baqarah (2): 278-279.. Selain itu, terdapat hadits yang menjelaskan perbedaan antara barter dan riba. Seperti yang tertulis pada HR. Bukhari:

Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, bahwa pada suatu ketika Bilal membawa Barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah dan beliau bertanya kepadanya/'Dari mana engkau men-dapatkannya?" Bilal menjawab, "Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya dua sha' untuk satu sha' kurma jenis Barni untuk dimakan oleh Rasulullah. Selepas itu Rasulullah terus berkata, "Hati-hati! Hati-hati ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakan uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu."

b. Pertukaran barang yang tidak sejenis terbagi dua, yaitu

1) pertukaran uang dengan barang, misalnya jual beli (buyu')

Jual beli dalam istilah f iqih disebut dengan al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira' (beli). Dengan demikian, kata al-bai' berarti jual beli.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqih, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama, yaitu tukar-menukar barang dengan cara tertentu atau tukar-menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang dibenarkan. Jual beli (al-Buyu') adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat di-benarkan (berupa alat tukar sah).

Dasar hukum diperbolehkannya Jual-beli antara lain adalah sebagai berikut:
QS. al-Baqarah (2): 275

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan, seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnyajual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orangyang telah sampaikepadanya larangan dari Tuhannya lain terns berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Rukun Jual-Beli, yaitu : penjual, pembeli, barang yang diperjual-belikan dan akad.

2) pertukaran barang dengan uang, misalnya sewa (ijarah).

Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Menurut Ulama Syafi'i adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanf aatkan dengan imbalan tertentu. Sedangkan, menurut Ulama Maliki dan Hambali adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan. Ber-dasarkan beberapa definisi tersebut, akad Ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad Ijarah itu hanya ditujukan kepada adanya man¬faat pada barang maupun bersifat jasa.
QS. an-Nisaa' (4): 29:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada-mu.

HR. Bukhari, Muslim dari Ibnu Abbas:
Berbekamlah kamu, lalu berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.
Ulama Hanafi mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa. Bisa saja sewa menyewa pada barang yang sama tetapi jika berbeda dalam nilai dan manfaat diboleh¬kan. Dengan demikian ijarah bisa dikenakan atas manfaat barang atau jasa yang dibutuhkan dan terhadap jasa tersebut dapat diambilkan fee atau upahnya.

Previous
Next Post »